Minggu, 08 Januari 2012

<<<<<<< Petunjuk Kehidupan Manusia >>>>>>>

Sempurnanya kemanusiaan manusia di muka bumi ini adalah ketika ada petunjuk yang membimbingnya ke jalan yang benar, karena tanpa petunjuk, manusia menjadi lebih sesat dari binatang. Al-Quran adalah petunjuk yang memberitahukan ke mana seharusnya “langkah manusia” diarahkan. Inilah hikmah kenapa Allah menyebutkan Al-Quran lebih dahulu daripada penciptaan Insandi dalam Surat Ar-Rahman.
Manusia mungkin saja menemukan kebenaran dengan akalnya, namun akal bukan petunjuk aman yang selalu benar menunjukkan jalan. Akal manusia bisa salah, sedangkan Al-Quran tidak akan pernah salah. Karena itu tidak ada alasan sedikit pun bagi seorang muslim untuk sekedar berfikir bahwa akal adalah segalanya, apa yang tidak dijangkau akal adalah tidak ada.
Selama ini kita sudah terjebak oleh kata-kata “Terjangkau akal”. Darwin menafikan “Pencipta” dan memilih mereka-reka teori yang terbukti bualan belaka, sebabnya karena Tuhan tak terjangkau oleh akal. Apa benar Tuhan tak mampu terjangkau akal atau akal “yang berusaha menjangkaunya” tak mampu? Darwin bukan satu-satunya ilmuwan di muka bumi ini, jika Darwin mengatakan bahwa pencipta tidak ada, mengapa ilmuwan lain mengatakan bahwa pencipta ada? Lantas apa yang membedakan Darwin dan ilmuwan lain yang mengakui adanya Pencipta? Akal! itulah yang membedakan dirinya dan ilmuwan lainnya.
Karena manusia punya akal, dan karena akal manusia itu berbeda-beda, maka terjadilah perbedaan, yang satu menyatakan “ini benar”, yang lain menyatakan “ini salah”. Akhirnya yang terjadi adalah membuat jalan tengah dengan mengatakan “Kebenaran itu relatif”, yang mengatakan bahwa “Pencipta tidak ada” sah, yang mengatakan sebaliknya pun sah karena “Kebenaran itu relatif”. Mereka yang belum “dewasa pemikirannya” mungkin menerima, tapi sesaat setelah pemikiran mereka dewasa, akal mereka sendiri yang akan menolaknya, Insya Allah.
Sebagaimana akal bisa benar dalam menentukan mana yang salah, akal juga bisa salah dalam menentukan mana yang benar. Begitulah selamanya sifat akal! selalu relatif dan karenanya tidak aneh jika ada yang mengatakan “Kebenaran itu relatif”, karena akal manusia relatif (berbeda-beda). Jadi, layak kah akal dijadikan standar kebenaran? Apa yang menurut akal benar adalah benar, dan apa yang menurut akal salah adalah salah? Biarkan fakta sejarah yang menjawab.
Sesungguhnya sejarah telah mencatat, bagaimana nasib sebuah peradaban yang salah dalam menentukan mana yang benar. Tahun 487 M di Iran, muncul sebuah ajaran yang bernama Mazdak. Ajaran ini mempropagandakan bahwa semua manusia dilahirkan sama tanpa perbedaan apapun juga. Oleh karena itu, manusia harus hidup secara sama dan tidak boleh ada perbedaan. Mengingat bahwa kekayaan dan wanita membuat manusia mengutamakan diri sendiri dan menjadi sumber perbedaan sosial, menurut Mazdak dua hal itu merupakan persoalan terpenting yang harus dipersamakan dan dikolektifkan.
Seruan tersebut mendapat sambutan dan persetujuan dari kalangan pemuda, kaum hartawan dan golongan-golongan yang hidup berfoya-foya, karena sesuai dengan selera dan hawa nafsu mereka. Ajaran Mazdak ini beruntung juga karena mendapat perlindungan dari istana (pemerintah). Raja Persia ketika itu ikut andil dalam mendukung aktif, dan menyebarluaskannya.
Mengenai hal ini At-Thabari mengatakan:
“Kesempatan tersebut dimanfaatkan oleh rakyat lapisan bawah untuk berhimpun di sekitar Mazdak dan kawan-kawannya. Mereka menjadi bertambah kuat dan membahayakan orang banyak, karena mereka berani masuk menyerbu ke dalam rumah orang lain dan bertindak sewenang-wenang, merampas apa yang ada di dalam rumah dan menggagahi wanita-wanita yang dijumpainya, dalam keadaan penghuni rumah tidak berdaya menghadapi mereka. Mereka terus mendorong Qubads (raja Persia) supaya mendorong dan membagus-baguskan tindakan mereka, dan mengancam akan menurunkannya dari tahta kerajaan bila ia tak mau memenuhi tuntutan mereka. Dalam waktu singkat di Iran banyak orang yang tak mengenal anaknya dan anak tidak mengenal siapa ayahnya, dan banyak pula orang-orang yang tidak bisa memiliki sesuatu untuk dapat hidup berkecukupan.”
Lebih jauh Thabari mengatakan: “sebelum itu, Qubads sebenarnya termasuk raja Persia yang terbaik, tapi setelah melibatkan diri dalam kerjasama dengan Mazdak, kekacauan merajalela dan ketenteraman menjadi rusak.”
Maha benar Allah dengan segala Firman-Nya:
Dan seandainya kebenaran itu menuruti keinginan/hawa nafsu mereka, pasti binasalah langit dan bumi, dan semua yang ada di dalamnya. Bahkan kami telah memberikan peringatan kepada mereka, tetapi mereka berpaling dari peringatan itu” (Qs. Al-Muminun: 71)
Demikianlah sejarah telah berbicara tentang akal ketika ia dijadikan “Segalanya”, apa yang menurutnya benar adalah benar, dan yang menurutnya salah adalah salah.
Bagaimanakah seharusnya seorang muslim berfikir? bagaimanakah seharusnya seorang muslim mencari kebenaran? dalam konteks ini, sejatinya cara berfikir seorang muslim adalah tidak berhenti begitu saja pada kesimpulan akalnya, kenapa? karena Allah telah menciptakan perangkat untuk mencari “Kebenaran”. Manusia terlahir include dengan perangkat ini, sepatutnya kita bersyukur atas apa yang telah Allah ciptakan dalam diri kita, dan salah satu bentuk syukur kita kepadaNya atas nikmat perangkat yang Allah berikan ini adalah dengan mempergunakan dan memfungsikannya sebaik mungkin.
Perangkat-perangkat tersebut adalah akal, hati dan wahyu. Perangkat akal terbatas fungsinya, karena itu Allah memberikan hati. Rasulullah SAW menjelaskan dalam sabdanya:
Nawwas bin Sam’an RA berkata; Nabi SAW bersabda:
Kebajikan adalah akhlaq terpuji, sedangkan dosa adalah apa yang meresahkan jiwamu serta engkau tidak suka apabila masalah itu diketahui orang lain.” (HR Bukhari)

Dalam hadits lain yang disampaikan oleh Wabishoh bin Ma’bad RA, ia berkata, Aku mendatangi Rasulullah SAW, beliau bertanya; “Engkau datang untuk bertanya tentang kebajikan? Aku menjawab ‘Ya benar‘. Beliau bersabda:
Tanyakan pada hatimu sendiri! Kebajikan adalah sesuatu yang membuat jiwamu tenang dan hatimu tenteram, sedangkan dosa adalah sesuatu yang menimbulkan keraguan dalam jiwa dan rasa gundah dalam dada, meski telah berulang kali manusia memberi fatwa kepadamu” (Hadits hasan diriwayatkan dari dua imam; Imam Ahmad bin Hanbal dan Imam Ad-Darimi dengan sanad hasan).
Jika akal mungkin salah dalam berfikir, jika hati/nurani mungkin tertutup nafsu, maka, keduanya adalah jalan yang kurang aman untuk sampai kepada kebenaran. Jadi, wahyu/syariat lah satu-satunya jalan yang aman untuk sampai kepada kebenaran, karena Allah lah yang menciptakannya. Karenanya, sekalipun akal dan hati nurani dikombinasikan, tetap saja belum cukup mampu untuk mendeteksi kebenaran ketika wahyu tidak disertakan.
Dalam praktek kehidupan nyata, wahyu/syariat pun tidak berjalan sendiri, agar tidak diterjemahkan secara leterlek (zahir). Karena itulah kita mengenal apa yang disebut dengan istinbath atau istidlal (mengeluarkan dalil) dari teks/matan wahyu tersebut, dan sudah barang tentu ini memerlukan kerja akal.
Imam Ghazali berkata yang maknanya “Perumpamaan Akal yang sehat (akal yang benar) adalah seperti mata yang bebas dari penyakit, dan kerusakan. Adapun perumpamaan Al-Quran adalah seperti Matahari yang cahayanya terpancar”.
“Jika demikian perumpamaan keduanya, maka adalah hal yang keliru ketika kita mencukupkan dengan salah satu dari keduanya, akal saja, atau Quran saja. Orang yang mencukupkan diri dengan Al-Quran dan menolak akal, seperti orang yang memejamkan mata, walaupun matahari terang cahayanya, tetap saja gelap pandangannya. Sama halnya dengan orang yang mencukupkan diri dengan akal dan menolak Al-Quran, maka ia seperti orang yang sehat penglihatannya, tapi gelap di sekitarnya membuat ia tak dapat melihat apa-apa. Kedua-duanya tidak ada beda dengan orang buta.”
Intinya, akal, hati, dan wahyu tidak berjalan sendiri-sendiri. Sebenarnya hubungan ketiganya harmonis, sampai manusia sendiri yang mencerai-beraikannya. Muncul lah wacana “Wahyu VS akal”, dan ini semestinya tidak perlu muncul jika wahyu yang dimaksud terjamin keotentikannya, ini juga tak perlu muncul jika penggunaan akal sesuai porsinya, tidak berlebihan dalam lebih, dan tidak berlebihan dalam kurang. Jadi jika suatu waktu muncul isu “Al-Quran bertentangan dengan akal”, maka ketahuilah bahwa kesalahan tidak terletak pada Al-Qurannya, tapi pada “orang yang membawa” Al-Qurannya.
Dapat disimpulkan bahwa seorang muslim tidak hanya dituntut untuk benar dalam berfikir, tapi juga memahami Al-Quran sebagai petunjuk hidupnya, karena Al-Quran bukan semata-mata perkataan tanpa maksud dan tujuan. Setiap perkataan dimaksudkan untuk dipahami makna-maknanya, bukan untuk sekedar dihafal, dan Al-Quran lebih utama untuk dipahami (ditadabburi) makna ayat-ayatnya sebelum perkataan lainnya, oleh karena itu, mentadabburi ayat-ayat Al-Quran sama pentingnya dengan menghafalnya. Begitulah cara Sahabat Rhadiyallahu anhum menghafal Al-Quran, yakni dengan mentadabburinya juga. Demikianlah agar Al-Quran benar-benar menjadi petunjuk kehidupan kita. Wallahualam bis shawab.

«««««««««« INDAH PADA WAKTUNYA »»»»»»»»»»

Ketika aku masih kecil, waktu itu ibuku sedang menyulam sehelai kain. Aku yang sedang bermain di lantai, melihat ke atas dan bertanya, apa yang ia lakukan. Ia menerangkan bahwa ia sedang menyulam sesuatu di atas sehelai kain. Tetapi aku memberitahu kepadanya, bahwa yang kulihat dari bawah adalah benang ruwet.
Ibu dengan tersenyum memandangiku dan berkata dengan lembut:
“Anakku, lanjutkanlah permainanmu, sementara ibu menyelesaikan sulaman ini; nanti setelah selesai, kamu akan kupanggil dan kududukkan di atas pangkuan ibu dan kamu dapat melihat sulaman ini dari atas.”
Aku heran, mengapa ibu menggunakan benang hitam dan putih, begitu Semrawut menurut pandanganku. Beberapa saat kemudian, aku mendengar suara ibu memanggil; ” anakku, mari kesini, dan duduklah di pangkuan ibu. “
Waktu aku lakukan itu, aku heran dan kagum melihat bunga-bunga yang indah, dengan latar belakang pemandangan matahari yang sedang terbit, sungguh indah sekali. Aku hampir tidak percaya melihatnya, karena dari bawah yang aku lihat hanyalah benang-benang yang ruwet.
Kemudian ibu berkata:”Anakku, dari bawah memang nampak ruwet dan kacau, tetapi engkau tidak menyadari bahwa di atas kain ini sudah ada gambar yang direncanakan, sebuah pola, ibu hanya mengikutinya.
Sekarang, dengan melihatnya dari atas kamu dapat melihat keindahan dari apa yang ibu lakukan.”
Sering selama bertahun-tahun, aku melihat ke atas dan bertanya kepada Tuhan; “Tuhan, apa yang Engkau lakukan? ”
Ia menjawab: ” Aku sedang menyulam kehidupanmu.”
Dan aku membantah,” Tetapi nampaknya hidup ini ruwet, benang-benangnya banyak yang hitam, mengapa tidak semuanya memakai warna yang cerah?”
Kemudian Tuhan menjawab,” Hambaku, kamu teruskan pekerjaanmu, dan Aku juga menyelesaikan pekerjaanKu. Satu saat nanti Aku akan memanggilmu ke surga dan mendudukkan kamu di pangkuanKu, dan kamu akan melihat rencanaKu yang selalu indah2 untukmu .”
Semua Akan Indah Pada Waktu’Nya

<<<<<<< Jika Hidup Terasa Sulit >>>>>>>

Saudaraku….
Pernahkah kita merasakan energi sabar yang lahir dari penghambaan Nabi Ayyub as,
Energi harapan dan cinta yang dipupuk oleh Muhammad Al-Fatih dalam ibadah-ibadah kepada-Nya bahwa suatu saat, Konstantinopel akan diraihnya,
kebeningan hati Fatimah az-zahra kecil yang dengan tegas menentang kaum Quraisy yang mengotori Ayahnya dengan isi perut onta ketika shalat,
atau… merasakan bagaimana bersihnya hati Abubuakar As-Shiddiq yang dengan tenang menerima kabar kematian Rasulullah SAW, meski sebagian besar ummat islam saat itu menglami kegoncangan,
Sungguh… itu sedikit potret dari orang-orang shalih terdahulu yang menginspirasi.
Jangan ditanya kedekatan mereka dengan Allah,
Mereka adalah orang-orang yang senantiasa memberikan hukuman terhadap diri sendiri jika lalai dalam ibadah kepada-Nya… sekalipun hanya ketinggalan shalat berjama’ah… atau ibadah-ibadah lain yang kita anggap “sepele”
Mereka senantiasa memahami, bahwa jika kita mengingat-Nya, maka Allah akan ingat pula kepada kita…
“Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat (pula) kepadamu….
Tidak hanya itu… rasa syukur atas semua nikmat Allah tak pernah lepas dari setiap dimensi kehidupan mereka…
…….. dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu mengingkari nikmat-Ku” (Al-Baqarah: 152).
Saudaraku…
Pernahkah kita merasa bahwa takdir yang Allah berikan kepada kita tidak sesuai dengan kehendak kita?
Ketika usaha sudah kita coba, dan doa-doa senantiasa kita panjatkan, namun ternyata Allah berkata lain atas ketentuan yang ditetapkan-Nya…
Lalu…
Pernahkah kita berada pada situasi dimana merasa menjadi orang paling “tidak beruntung”, “paling sengsara”, tak mendapat nikmat apa-apa?
Manusiawi adanya jika ini kita rasakan…
Namun… selaku hamba yang mengaku seorang muslim…
yang mengaku memiliki iman kepada Allah swt di hati-hati kita… sesungguhnya, banyak sekali hikmah yang bisa kita petik dari orang-orang mulia yang senantiasa dekat kepada-Nya…
Bayangkan jika masa tersulit baginda Nabi selama diboikot oleh kau Quraisy dilewati tanpa rasa syukur kepada Allah swt,
Masihkah kita menikmati Islam saat ini?
Atau ketika para Mursyid ‘am Ikhwanul Muslimin, yang rela dipenjarakan dan menerima siksaan bertubi-tubi melewati semua ujian itu dengan menggadaikan idealisme dan menjual murah Jihad yang selama ini mereka kerjakan…
Bisakah kita mendapatkan pelajaran dan ruh perjuangan dari mereka?
Saudaraku…
Semua ujian dan cobaan itu mereka lalui dengan rasa syukur yang berlimpah kepada-Nya…
Al-Muhasibi, pernah berkata…
“Rasa syukur yang paling tinggi adalah bila engkau menganggap SETIAP MALAPETAKA sebagai suatu NIKMAT. Karena malapetaka yang menimpa manusia yang lain lebih dahsyat dan lebih besar dibandingkan dengan malapetaka yang menimpamu, di saat manusia merasa butuh SABAR, engkau malah bisa BERSYUKUR”…
Masya Allah…
Kalimat ini… jika kita renungkan secara mendalam… betapa menyimpan energi kecintaan pada Allah yang luar biasa,
Perasaan dimana semua batas emosi telah dilewatkan oleh IMAN kita, karena merasa bahwa apapun dari-Nya, sesungguhnya selalu yang terbaik buat kita.
Inilah yang menjadi alasan kenapa Rasulullah saw menjadi orang yang paling bersyukur atas nikmat-Nya.
Rasulullah memahami, bahwa kebesaran Allah senantiasa lahir dari penciptaan langit dan bumi.
Bahkan, ketika nikmat tidur bersama Aisyah RA sedang dikecapi olehnya, Rasulullah meminta izin kepada Aisyah untuk shalat dan menangis di hadapan-Nya.
Aisyah RA dengan keheranan bertanya kepada Beliau “Apakah yang menyebabkan Tuan menangis, sedangkan Allah telah mengampuni dosa-dosa Tuan baik yang dahulu maupun yang belakangan?”
Lalu apa jawaban Rasulullah…?
Sang Nabi yang Mulia (Semoga Allah mempertemukan kita dengan Beliau di Jannah-Nya) berkata…
“Tidakkah aku mesti menjadi hamba yang bersyukur? bagaimana aku tidak menangis sedangkan Allah menurunkan ayat ini kepadaku, “sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi……… adalah tanda-tanda (kebesaran Tuhan) bagi kaum yang berfikir” (Al-Baqarah: 164 dan Ali Imran: 190)
Keindahan Akhlaq inilah… yang senantiasa membuat Aisyah RA senantiasa menangis ketika mengingat Beliau… tidak ada sesuatupun yang tidak mengagumkan dari pribadi Sang Nabi…
Saudaraku…
Semoga dalam sisa umur kita… kita mampu belajar untuk memaknai bahwa sesungguhnya Allah swt, senantiasa memberikan yang TERBAIK bagi kita…
Kita hanya butuh membersihkan nurani… mengasah IMAN… mempertebal kesyukuran… lalu memperbaharui Akhlaq…
Agar dengan KEBENINGAN JIWA yang kita miliki… semua kejadian yang kita alami… bisa kita “petik” hikmahnya… Insya Allah… dalam kondisi yang ridho… dan menjadikan kita pribadi-pribadi yang qana’ah…

Allahu’alam Bishwab…
“Jadikan kami hamba-hamba-Mu yang senantiasa memperbaharui niat dan rasa syukur kepada-Mu… agar cinta dihati kami… terisi penuh oleh-MU… kemudian melahirkan ucapan yang membeningkan… serta perbuatan yang men-cahayakan…” Amin ya Rabbal alamin….